Wednesday, May 26, 2010

Rambut Itu Memutih Sempurna

Wednesday, May 26, 2010

KotaSantri.com : Aku telah terbang saat usiaku 15 tahun. Meninggalkan kampung halaman yang terasa begitu membosankan dan membelenggu dengan rutinitasnya, juga kelima saudara yang tengah mencari jati dirinya.

Aku memutuskan mengais jawaban kehidupan di kota Buaya dan kota Udang, tempat asa masa depan kugantungkan. Meski di tahun ketiga, kerinduan pada hawa panas pesisirnya, masakan pedas tak terlalu asinnya, terlebih kebersamaan dengan keluarga begitu menggelora. Bahkan nyaris membuatku putus asa dan memutuskan menyerah saja.
Hari ini, genap enam belas tahun aku menjadi penghuni tak tetap kota pensiunku tercinta, Pati. Meski sekarang dia lebih terkenal sebagai kota Paranormal (yang kadang membuatku malu).

Hari ini, satu sisi lagi yang kusadari dari rentang enam belas tahun ketidakbersamaanku dengan orang yang telah melahirkan dan membesarkanku. Pae, bueku.
Rambut itu memutih sempurna. Raga itu tak mampu lagi berayun kesana kemari mengusahakan nafkah untuk anak-anaknya seperti semula. Darah tinggi, kolesterol, dan entah apa lagi itu menemani masa tua mereka.

Ya, mereka beranjak senja. Menyisakan keperkasaan di ingatan anak-anaknya. Menyerah pada siklus kehidupan. Seperti mentari yang terbit di ufuk fajar lalu harus menyerah tenggelam. Tak ada yang mampu melawan ketetapanNya.

Menatap mereka, aku bertanya, apa yang telah kupersembahkan untuk membalas setitik saja pengasuhan mereka? Sungguh, apapun itu, tak kan mampu mengganti malam-malam terjaga mereka saat kami masih bayi. Takkan mampu mengganti kepayahan saat membanting tulang mengais rejeki agar perut kami terisi. Takkan mampu mengganti harga diri yang tergadai saat mengutang untuk menyekolahkan kami.

Menatap mereka, aku bertanya, bagaimanakah nanti jika aku ditinggalkan terlebih dahulu? Penyesalan tentang waktu yang tak mampu diputar pasti kan menggelutiku.
“Klambiku akeh, nduk. Ora usah diketutna. Mengko tak kumbahi dewe. (Pakaianku banyak nduk, Nggak usah diikutkan. Nanti kucuci sendiri).”

Duh, bahkan saat tenaganya pas-pasan saja bueku menolak aku mencucikan pakaiannya. Padahal di saat kami masih kecil, malam-malam mereka berjibaku mencuci pakaian kami di sumur gowak, di bawah cahaya uplik yang bergoyang-goyang ditiup angin. Setelah seharian kepayahan mencari makan. Betapa bue tak ingin ‘merepotkan’ anaknya. Padahal seandainya beliau memintanya pun kami wajib menaatinya.

“Aku emoh nok rumah sakit. Ngrepotna anak ae. (Aku nggak mau ke rumah sakit. Merepotkan anak saja).”

Duh, bahkan saat nafas tersengal-sengal dan tak mampu menelan makanan, pae menolak dibawa ke rumah sakit hanya agar tak ‘merepotkan’ anaknya. Padahal entah sudah berapa kali kami dulu menghabiskan waktu di ranjang rumah sakit, merepotkan mereka tak terkata.
Ya, rambut mereka telah memutih sempurna. Namun mata memburam mereka masih terbuka. Dan senyum itu masih dibagikannya.

Masih ada waktu bagiku, bagi kami, untuk melakukan sedikit saja pembalasan budi. Meski tetap takkan mampu mengganti, apa yang telah mereka beri. Cinta, pengasuhan, kasih sayang, keikhlasan.

Ya Allah, ijinkan air mata yang menitik ini menjadi saksi, bahwa hamba ingin benar-benar mengabdi pada bue pae yang telah menggurat jiwa kami.
Ya Allah, ijinkan haru yang menyesak dada ini menjadi saksi di akhirat nanti, bahwa mereka telah memberi yang terbaik bagi keenam jiwa yang Kau titipkan padanya.
Ya Allah, semoga dengan ridhaMu semata menjadikanku sebagai anak shalehah yang hanya dengan do’anya takkan terputus amalan mereka meski jiwa terpisah dengan raga jika saatnya tiba.



Artikel Terkait:

0 comments:

Post a Comment

 

Title

About Me

My photo
My Hobby are browsing internet, learn, and listening the music's
free counters

BLOG ARTIKEL DAN HUMOR is proudly powered by Blogger.com | Template by Blog Zone