Muslim.Or.Id — Masih  ingatkah kita dengan peristiwa beberapa waktu yang lalu, di mana ketika  badan meteorologi dan geofisika memprediksikan bahwa di sepanjang pantai  selatan pulau Jawa akan diterpa badai? Juga ingatkah kita, orang-orang  pada waktu itu rame-rame membuat sesajen-sesajen dan ritual-ritual, di  antaranya seperti sayur lodeh, yang dibuat supaya dapat terhindar dari  badai tersebut? Bagaimanakah hal seperti ini dalam Islam? Oleh karena  itu, selamat menyimak pembahasannya pada edisi kali ini.
Pengertian Isti’adzah (Meminta Perlindungan)
Meminta perlindungan atau dalam bahasa Arabnya disebut dengan isti’adzah  merupakan salah satu macam dari doa. Disebutkan bahwa isti’adzah  adalah tholabul ‘iyadz (meminta perlindungan), dan ‘iyadz  (perlindungan) adalah sesuatu yang membuat aman dari bahaya atau  kejelekan. Isti’adzah dibedakan dari jenis doa yang lainnya,  mengingat bahwa istilah isti’adzah adalah meminta perlindungan  dari marabahaya atau kejelekan yang akan menimpa (bahaya yang belum  terjadi) (At Tamhiid Lisyarhi Kitaabit Tauhid, Syaikh Sholih Alu Syaikh)
Isti’adzah Adalah Ibadah
Karena isti’adzah adalah termasuk doa, dan doa termasuk  ibadah, maka isti’adzah juga adalah termasuk ibadah. Sehingga  di dalamnya berlaku kaidah ibadah secara umum yakni tidak boleh bagi  siapa pun juga untuk menujukkan ibadah tersebut kepada selain Alloh.  Sehingga barang siapa yang meminta perlindungan kepada selain Alloh maka  sungguh dia telah berbuat kesyirikan kepada Alloh.
Alloh ‘azza wa jalla berfirman yang artinya:
Alloh ‘azza wa jalla berfirman yang artinya:
وَأَنَّ الْمَسَاجِدَ لِلَّهِ فَلَا تَدْعُوا مَعَ اللَّهِ أَحَداً
“Dan sesungguhnya masjid-masjid itu adalah milik Alloh, maka  janganlah kamu menyembah seorang pun didalamnya di samping (menyembah)  Alloh.” (QS Jin: 18)
Di antara contoh isti’adzah kepada selain Alloh adalah acara  ruwatan, membunyikan klakson ketika melewati tempat yang angker dan  permisi ketika melewati tempat yang angker.
Kandungan Isti’adzah
Di dalam isti’adzah terkandung dua amalan, yakni amalan  lahir dan amalan batin. Amalan lahirnya adalah ketika dia meminta  perlindungan itu sendiri kepada yang lain bisa dengan sesama makhluk  atau dengan sang Kholiq, yakni agar terjaga atau terselamatkan dari  kejelekan. Dan amalan batinnya adalah berupa bersandarnya hati,  tenangnya hati dan sikap pasrahnya menyerahkan hajatnya kepada orang  atau siapa yang mampu melindunginya.
Maka apabila terkumpul isti’adzah pada dua macam ini, yakni amalan lahir dan amalan batin, maka tentulah isti’adzah ini harus ditujukan hanya kepada Alloh, tidak boleh kepada selain-Nya. Mengapa? Karena di dalamnya terkandung amalan hati, di mana berdasarkan ijma’ ulama tidaklah boleh bagi siapa pun juga untuk bertawajjuh (menghadapkan), berta’alluq (bergantung) dan menyandarkan hatinya kepada selain Alloh.
Namun apabila yang dimaksudkan dengan isti’adzah adalah hanya terbatas pada amalan lahir saja, maka boleh ditujukan kepada selain Alloh (kepada makhluk). Dan perkara seperti ini tentu saja tidak kita ingkari. Terkadang seseorang meminta perlindungan kepada saudaranya yang lain agar terhindar dari kejelekan atau marabahaya. Seperti seorang yang meminta perlindungan kepada polisi dari ancaman pembunuhan atau bahaya lainnya. Maka hal seperti ini hukumnya boleh namun dengan syarat berikut ini:
Pertama, perkara tersebut adalah perkara yang mampu dilakukan oleh makhluk. Maka tidak boleh seseorang meminta perlindungan dari bahaya badai kepada Nyi Roro Kidul atau kepada makhluk yang lainnya, meminta perlindungan dari bahaya paceklik kepada dukun, kyai ataupun nabi sekalipun. Mengapa? Karena jelas-jelas perkara ini perkara yang sedikit pun tidak mereka kuasai.
Kedua, orang yang dimintai tersebut masih hidup. Maka tidak boleh  meminta perlindungan kepada orang-orang yang mati, meskipun dia seorang  wali atau nabi sekali pun. Bahkan meskipun juga andaikan dia hidup, dia  dapat memberikan perlindungan tersebut.
Ketiga, orang yang dimintai tidak dalam keadaan ghoib (terjadi komunikasi). Maka salahlah perbuatan orang-orang thoriqot atau kaum sufi yang mereka meminta kepada syaikh-syaikh thoriqotnya (yang tidak hadir) agar terhindar dari suatu bahaya.
Dari ketiga syarat yang sudah disampaikan di atas, maka barang siapa yang ketika dalam isti’adzahnya kepada selain Alloh (kepada makhluk) itu tidak memenuhi ketiga syarat di atas maka sesungguhnya dia telah melakukan kesyirikan kepada Alloh dalam hal isti’adzah..
Bahaya Isti’adzah kepada Selain Allah
Alloh berfirman:
إِنَّ اللّهَ لاَ يَغْفِرُ أَن يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ  ذَلِكَ لِمَن يَشَاءُ
“Sesungguhnya Alloh tidak mengampuni apabila dia dipersekutukan dan Dia mengampuni dosa-dosa selainnya kepada siapa yang dikehendaki.” (An Nisa: 116)
Rosululloh bersabda yang artinya: “Barang siapa yang mati  sedangkan dia membuat tandingan-tandingan untuk Alloh maka dia masuk  neraka”. (HR. Bukhori)
Dalam kaitan dengan isti’adazah Alloh menceritakan:
وَأَنَّهُ كَانَ رِجَالٌ مِّنَ الْإِنسِ يَعُوذُونَ بِرِجَالٍ مِّنَ  الْجِنِّ فَزَادُوهُمْ رَهَقاً
“Dan bahwasanya ada beberapa orang laki-laki di antara manusia meminta perlindungan kepada beberapa laki-laki di antara jin, maka jin-jin itu menambah bagi mereka dosa dan ketakutan.” (Jin: 6)
Dari ayat ini Alloh menjelaskan bahwa orang-orang yang meminta  perlindungan kepada selain Alloh, maka tidaklah dia akan mendapatkan  suatu ketenangan, bahkan sebaliknya dia akan semakin bertambah takut dan  mendapatkan dosa.
Kesyirikan Masa Kini Lebih Parah Daripada Dahulu
Cukuplah hal ini menjadi bukti bahwa ternyata kesyirikan zaman ini  ternyata lebih parah bila dibandingkan kesyirikan kaum musyrik dahulu.  Kaum musyrik dahulu tidak mempersekutukan Alloh dalam sifat  Rububiyah-Nya. Mereka meyakini bahwa yang menguasai alam semesta ini,  yang berkuasa atas segala sesuatu, yang mampu menolong mereka dari mara  bahaya hanya Alloh Ta’ala semata tidak ada yang lainnya. Seperti yang  Alloh ceritakan perihal mereka:
فَإِذَا رَكِبُوا فِي الْفُلْكِ دَعَوُا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ  الدِّينَ فَلَمَّا نَجَّاهُمْ إِلَى الْبَرِّ إِذَا هُمْ يُشْرِكُونَ
“Maka apabila mereka naik kapal mereka berdoa kepada Alloh dengan memurnikan keta’atan kepada-Nya, maka tatkala Alloh menyelamatkan mereka sampai ke darat, tiba-tiba mereka (kembali) mempersekutukan (Alloh).” (Al Ankabut: 65)
Syaikh As Sa’di mengatakan: “Kemudian Alloh menerangkan tentang  bagaimana tauhid kaum musyrikin tatkala mereka berada dalam mara bahaya  dan ketakutan yang mencekam yakni ketika mereka berada di atas bahtera.  Pada saat mereka ditimpa ombak yang besar di tengah lautan, mereka  meninggalkan sesembahan mereka yang lain dan mereka hanya berdoa kepada  Alloh semata (sebab mereka yakin bahwa yang hanya bisa menolong mereka  pada saat itu hanyalah Alloh semata). Maka tatkala mara bahaya itu telah  hilang dari mereka dan Alloh selamatkan mereka sehingga mereka sampai  di daratan, maka tiba-tiba saja mereka kembali mempersekutukan Alloh  dengan tandingan-tandingan, padahal tandingan tersebut mereka yakini  tidaklah mampu menyelamatkan mereka.” (Taisir Karimir Rohman).
Lalu bagaimanakah kondisi sebagian orang yang mengaku-aku merupakan  bagian dari kaum muslimin sekarang. Di antara mereka ada yang meyakini  bahwa ada penguasa lain di alam ini. Ada yang meyakini bahwa yang  menguasai pantai laut selatan adalah Nyi Roro Kidul, yang menguasai  (atau dalam bahasa mereka “mbahu rekso”) jembatan ini, pohon  ini adalah mbah anu dan lain sebagainya. Lalu di antara mereka ada pula  yang apabila akan ditimpa kesusahan atau marabahaya, tidak meminta  tolong kepada Alloh semata (sebagaimana kaum musyrik dulu) namun malah  datang kepada dukun-dukun yang sebenarnya mereka tidak berkuasa sedikit  pun untuk menghindarkan mereka dari bahaya tersebut. Na’udzu Billah.  Bukankah ini lebih parah dibanding kaum musyrikin dahulu? Maka semoga  Alloh memberikan petunjuk kepada kita dan seluruh kaum muslimin.

0 comments:
Post a Comment